Rabu, 23 Februari 2011

Tantangan Tentara Muslim di Afghan Dianggap Sebagai Pengkhianat


KABUL, Afghanistan (Berita SuaraMedia) – Dengan lebih dari 600 Muslim di dalam Pasukan Bersenjata Inggris, apakah mereka yang ditugaskan di barisan depan di Afghanistan harus merekonsiliasi kepercayaan mereka dengan tujuan untuk memerangi pergerakan Taliban?
"Rumah saya adalah Kerajaan Inggris. Sebagai seorang Muslim, itulah tempat di mana saya dengan senang hati berkorban untuk negara. Dengan cara yang sama akan tetap diingat sampai hari kematian saya."
"Keseluruhan jiwa saya milik Inggris dan saya lebih dari bangga bertarung untuk negara ini."
Tentara Shehab El-Din Ahmed El-Miniawi, bertugas dengan Batalion ke-2 Resimen Parasut di Provinsi Helmand, sebuah benteng Taliban dan skena dari beberapa pertempuran terberat di negara tersebut.
Satu-satunya Muslim taat di dalam batalionnya, El-Miniawi berada pada tur pertamanya di Afghanistan.
"Saya datang tanpa adanya persepsi tentang akan seperti apa tempat ini, akankah panas, dingin, akankah bahaya, akankah dipenuhi dengan bahan peledak yang termodivikasi, apapun,"  ia mengatakan.
"Jika Anda mempersempitnya, kami tidak hanya memerangi Muslim, kami memerangi ekstrimis. Setiap kebudayaan, setiap keyakinan… memiliki sebuah latar belakang ekstrimis di dalamnya.
"Itu adalah sesuatu yang saya secara pribadi merasa harus diberantas, jadi karena itulah mengapa saya ada di sini untuk bertempur di dalam perang ini."
El-Miniawi mengatakan bahwa agamanya sering merupakan suatu keuntungan pada patroli dan rakyat Afghanistan ramah terhadap dirinya ketika mereka sadar bahwa mereka berbagai agama yang sama.
"Para atasan, para petugas yang telah membantu saya di medan pertempuran, telah mendorong saya untuk berbicara dan menjalin hubungan dengan para penduduk lokal dan memecahkan kebekuan.
"Mereka tahu siapa saya, mereka tahu latar belakang saya, sehingga mereka cenderung datang kepada saya berpikir bahwa saya semacam seorang komando," ia mengatakan.
"Ini telah menjadi sebuah kerja yang sangat keras, saya tidak berharap tanggung jawab sebesar ini sebagai seorang tentara infanteri."
Sementara di luar operasi ia telah berusaha untuk menstabilkan dan membangun kembali sebuah desa yang hancur di Helmand, sehingga para penduduk lokal bisa kembali.
"Kami berusaha untuk mendukung penduduk lokal, membersihkan daerah dengan banyak peledak terimprovisasi (Improvised Explosive Device – IED), dan menahan daerah tersebut.
"Hal ini membutuhkan begitu banyak pembicaraan dengan para penduduk lokal, begitu juga memahami seperti apa latar belakang mereka, melihat apa yang mereka inginkan dari kami."
Ia mengatakan bahwa teman tentaranya telah bercanda dengannya tentang menjadi seorang Muslim, namun itu bukanlah masalah yang sebenarnya.
"Anda dilihat seperti salah satu dari lelaki tersebut. Anda bergaul dengan siapa saja, Anda semua adalah orang yang sama, melakukan pekerjaan yang sama, sehingga mengapa Anda harus diperlakukan secara berbeda?"
"Pada titik yang sama, Anda akan selalu megharapkan semacam senda gurau namun tidak ada yang harus membuat Anda menjadi murung, karena Anda akan terbiasa pada akhirnya, baik itu Anda berasal dari agama apapun, warna apapun, gemuk, kurus, kecil, tinggi, semuanya sama, sungguh."
"Jadi saya, menjadi seorang Muslim, agak sedikit lebih gelap dari siapa pun dan agak berambut, benar-benar bukan masalah besar sama sekali."
Muslim di dalam militer telah menghadapi kecaman dari para anggota komunitas mereka sendiri di Inggris, yang menentang apa yang mereka lihat ketika mengangkat senjata menentang teman-teman Muslim mereka di dalam konflik seperti di Afghanistan dan sebelumnya di Irak.
Menjadi seorang Muslim di dalam Pasukan Bersenjata Inggris bukanlah tanpa resiko.
Di samping adanya bahaya yang semua pasukan yang disebar di Afghanistan hadapi, seperti bom tepi jalan, dan serangan bunuh diri, sekembalinya mereka ke Inggris beberapa pasukan Inggris telah mengalami ancaman dari para ekstrimis di dalam komunitas mereka sendiri.
Kopral Raziya Aslam telah ditugaskan di Lashkar Gah di Helmand sebagai seorang ahli bahasa sejak November 2010.
"Saya tidak melihatnya sebagai sebuah perang menentang Islam," ia mengatakan.
"Beberapa dari pekerjaan tersebut adalah membantu orang-orang dan berharap Afghanistan berkembang."
Kopral Aslam, yang dilahirkan di Inggris dari orang tua yang beremigrasi dari Pakistan, begitu bersemangat untuk melakukan perjalanan ke Afghanistan, ia menghabiskan waktu satu tahun mempelajari bahasa Pashto.
Pekerjaannya membuatnya berperan sebagai seorang penerjemah di sebuah pertemuan desa, dikenal sebagai sebuah "shura".
Di pangkalan militer kecil di Lashkar Gah, tempat tinggalnya adalah sebuah barisan tenda hijau di bawah bayangan sebuah Masjid lokal.
"Kami terdiri dari delapan orang di dalam tenda. Anda bekerja dengan waktu ekstra, 12-13 jam dalam sehari. Anda mandi, dan tidur. Ini hanyalah tidur dan bekerja."
Dr. Joel Hayward adalah seorang dekan Perguruan tinggi RAF, Cranwell dan ia sendiri seorang Muslim, mengatakan bahwa tidak ada konflik untuk seorang Muslim taat bertugas di Dinas Bersenjata Inggris di Afghanistan.
Jenderal Sir David Richards, pimpinan dari Staf Pertahanan baru-baru ini memberikan penghormatan kepada pasukan Muslim yang bertugas dan menyerukan untuk lebih banyak yang bergabung.

sumber 

0 komentar:

Posting Komentar