Rabu, 16 Januari 2013

Pasal-pasal Bermasalah dalam UU Pengadilan Tipikor

nilah pasal-pasal dalam Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang dinilai bisa menghadang kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal 1 ayat 4: “Penuntut umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Tidak tegas menyebut selain kejaksaan, KPK berwenang melakukan penuntutan. Bisa terjadi hakim menafsirkan yang dapat melakukan penuntutan hanya kejaksaan mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Pasal 3: “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”.

Pasal ini berkaitan dengan pasal 35 ayat 4: “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di ibu kota provinsi dibentuk paling lama dua tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan”.

Bisa menimbulkan ketidakpastian hukum apabila dalam waktu dua tahun pengadilan tindak pidana korupsi belum terbentuk di semua ibu kota provinsi. Jika kemudian perkara korupsi itu diproses di pengadilan negeri, terjadi dualisme peradilan, hal yang dilarang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 26 ayat 3: “Penentuan mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim ditetapkan oleh ketua pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi kasus”.

Lewat ketentuan ini, ketua pengadilan negeri bisa menetapkan majelis hakim, misalnya terdiri atas tiga hakim karier dan dua hakim ad hoc. Padahal sebelumnya, undang-undang mengatur jumlah hakim ad hoc lebih dominan ketimbang hakim karier.

Pasal 28 ayat 1: “Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Penjelasan pasal: penyadapan sebagai alat bukti hanya dapat dilakukan terhadap seseorang apabila ada dugaan berdasarkan laporan telah dan/atau akan terjadi tindak pidana korupsi.
Pasal ini dianggap membatasi wewenang penyadapan KPK karena penyadapan masih membutuhkan izin pengadilan. Padahal Undang-Undang KPK menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

0 komentar:

Posting Komentar